Kamis, 05 Juni 2014

Diskusi HMPS AS Penting Nggak Sih Ikut Organisasi ?



Penting Nggak Sih Ikut Organisasi ?
sobat, bicara tentang organisasi niih, udah pada tahu belum apa itu yang disebut dengan organisasi ? Yupps pastinya udah pada tahu dong, organisasi itu adalah sekelompok orang yang berada dalam satu wadah dimana mereka berkumpul saling bekerjasama secara rasional, sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali dalam memanfaatkan sumber daya yang ada secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan. Di lingkungan kampus banyak sekali organisasi yang ditawarkan kepada mahasiswa, seperti organisasi di bidang politik, olahraga, kerohanian, karya tulis dan sebagainya. Jadi mahasiswa dapat memilih organisasi apa yang sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Namun ada diantara mahasiswa yang berpikir organisasi itu nggak penting "ngapain sih ikut organisasi, buang-buang waktu aja mending dimanfaatin buat belajar aja." . Yah begitu lah kira-kira ucapan para mahasiswa yang nggak ingin ikut dalam organisasi, katanya ntar kalau udah ikut organisasi takut waktu untuk kuliah nya tersita alhasil nilainya jeblok. Dibandingkan kuliah dengan organisasi sudah jelas yang paling utama adalah kuliah,lalu bagaimana dengan organisasi di kampus ?? yukk kita simak manfaat dan seberapa pentingkah ikut organisasi, let's begin... sobat, dengan kita ikut suatu organisasi maka kita akan mendapatkan tambahan ilmu dan wawasan yang nggak kita dapat saat kita belajar dibangku kuliah. Karena dengan kita ikut organisasi bakal ada saja pengalaman-pengalaman yang belum pernah kita rasakan dan menjadikan itu suatu pelajaran baru untuk kita. Selain itu yang bisa kita dapatkan dalam mengikuti organisasi adalah : 1. Mendapat tambahan teman baru Itulah yang pertama yang kita rasakan pada saat kita bergabung dalam satu organisasi,dimana awalnya kita hanya mengenal teman yang satu kelas dengan kita, tapi sekarang kita telah mengenal banyak teman baru. 2. Mendapatkan ilmu banyak ilmu pengetahuan yang akan kita dapatkan diwaktu kita ikut dalam sebuah organisasi, yang mungkin tidak kita dapat dalam bangku perkuliahan. 3. Mendapatkan pengalaman baru Dalam organisasi tentunya kita harus ikut berbagai kegiatan yang diadakan dan berperan aktif, karena disanalah kita akan medapatkan berbagai pengalaman-pengalaman. 4. Mengasah keterampilan sosial Karena dalam organisasi lah kita berinteraksi dengan orang-orang yang mungkin berbeda karekteristiknya, sehingga melatih kita untuk dapat memahami satu sama lain. 5. Belajar menjadi pemimpin ini lah keuntungan dari organisasi, kita dilatih untuk menjadi pemimpin. Dalam organisasi tentu banyak hal yang akan kita urus, untuk itu disinilah ajang kita untuk menunjukkan totalitas kita dengan jiwa kepemimpinan.Disinilah kita dilatih yang akan berguna bagi kita kedepannya. Oke sob, sekian dulu uraian tentang pentingnya kita ikut organisasi.So, jangan takut untuk ikut bergabung dalam satu organisasi, dengan catatan tugas utama jangan dilupakan dan pandai-pandailah membagi waktu.

Tasawuf nusantara



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kajian tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia telah tampak unsur tasawuf yang mengisi kehidupan beragama masyarakat Indonesia, bahkan saat inipun kajian mengenai tasawuf masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, dapat dibuktikan dengan semakin maraknya kajian Islam.
Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut.
Maka dari itu dalam makalah ini kami akan menjabarkan mengenai bagaiamana tasawuf yang bekembang di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah masuk dan perkembangan tasawuf di Indonesia ?
2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia ?
3.      Seperti apakah penyimpangan dalam Tasawuf ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Masuk dan Perkembangan Tasawuf di Indonesia
1.      Sejarah Masuknya Tasawuf di Indonesia
Membicarakan sejarah masuknya tasawuf di Indonesia adalah lebih tepat apabila terlebih dahulu meninjau kembali sekilas lintas tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Dari gambaran ini kita akan lihat, apakah masuknya Islam ke Indonesia bersamaan atau sekaligus dengan tasawuf. Kita dapat mengetahui bahwa sebelum islam masuk ke Indonesia, hubungan dagang antara Sumatera, Cina, India, dan Persia, serta negeri Arab sudah terjalin dengan pesatnya. Hal ini sezaman dengan Kerajaan Sriwijaya yang dipimpin oleh Lokitawarman. Hubungan dagang ketika itu adalah lebih bersifat pribadi bila dibandingkan dengan keadaan yang sekarang. Kontak perdagangan yang lama dan erat itu sadar atau tidak, telah membawa akibat dan akibat mengambil unsur-unsur kebudayaan masing-masing pihak. Oleh karena para pedagang yang datang ini umumnya adalah beragama Buddha, terutama dari India dan Cina, maka agama inilah yang mula-mula berkembang di Sumatera, khususnya di bagian Timur.
Begitulah sejarah, sewaktu-waktu akan bisa berubah tanpa dipungkiri. Rajendra Tjola dari India Selatan berhasil melumpuhkan kekuasaan maritim Sriwijaya Palembang pada permulaan abad ke-11 M. Kuntu Kampar di Minangkabau Timur bangkit kembali sebagai kekuasaan Islam syariah. Dari uraian di atas dapatlah kita tarik pengertian, bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah yang dibawa oleh pedagang dari luar, termasuk Arab sendiri. Kemudian mengalami pasang surut seolah-olah hampir menghilang beberapa abad lamanya. Namun pada abad ke-11 Masehi, Islam ini menampakkan kekuasaannya lagi ke Indonesia dengan berpaham syariah, lalu kemudian pada abad ke-13 berubah lagi menjadi aliran syar’iyah. Dua seminar yang membahas tentang masuknya Islam ke Indonesia telah berlangsung, yaitu pertama diadakan pada bulan Maret 1963 di Medan dan yang kedua diadakan pada bulan Juli 1968 di Padang. Dan hasil kedua seminar ini kita dapati dua macam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Akan tetapi, dari fakta sejarah telah terbukti bahwa pada abad ke-1 Hijriyah atau abad ke-7 Masehi Islam telah masuk ke Indonesia dari tanah Arab dan kemudian mengalami kemunduran total dan lalu tampak lagi dengan kekuasaan yang penuh berwibawa pada abad ke-11. Kemunculan kedua ini tampak jelas betapa besar usaha dan dorongan Rajendra Tjola yang berasal dari India Selatan. Setelah itu Islam terus berkembang, sampai pada kerajaan Islam yang bersifat nasional pada abad ke-12 dan ke-13 Masehi.
Dari uraian di atas dengan jelas kita telah mendapat gambaran, bahwa tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia (abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan yang jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.[1]
2.      Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lainnya, kita bisa melihat pengaruh yang sangat besar dari para sufi ini dalam mempengaruhi kepemimpinan raja, baik yang ada di tanah Aceh maupun yang ada di tanah Jawa.[2]
Di kawasan Sumatera bagian utara saja setidaknya ada empat sufi terkemuka, antara lain Hamzah Fansuri (± abad 17 M) di Barus, kota kecil di pantai barat Sumatera di utara Sibolga.
Perkembangan Islam di Jawa untuk selanjutnya, umumnya digerakkan oleh ulama yang diketahui dan dikenal dengan panggilan Wali Sanga atau Wali Sembilan. Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, kelihatannya secara pelan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena telah tergantikan oleh model spiritualis non religious. Situasi yang hampir sama, juga menimpa dunia pesantren yang disebabkan oleh invasi sistem pendidikan sekular yang berasal dari Eropa melalui kolonial Belanda. Maka kehidupan sufisme di Indonesia secara berangsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu, sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan ketimbang sufismenya sendiri.[3]

B.     Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia
1.      Hamzah Al-fansuri
Pemikiran Al-fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi ibn’ Arabi dalam paham wahda wujudnya. Diantara ajaran Al-fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (madjhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin).
2.      Syamsudin Al-Sumatrani
Pemikiran tasawuf Syamsudin Al-Sumatrani membahas tentang Martabat Tuhan dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kalil di cetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah Al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.
3.      Nuruddin ar-Raniri
Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Beliau memang seorang pengarang yang sangat produktif. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sahingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” pengikut wujudiyah ternyata di dukung oleh Sultan. Masih soal serangan Nuruddin ar-Raniri terhadap kaum sufi yang menganut paham wujudiyah. Nuruddin berkata bahwa ayat itu telah ditafsirkan oleh kaum wujudiyah sacara salah, yaitu bahwa alam atau insan ke luar dari Allah dan kembali bersatu dengan-Nya.
Muenurut Nuruddin, dalam masalah ini pendirian atau itikad ahlussunnah dan kaum sufi tidak berbeda. Jika ada perbedaan, itu hanya pada lafal dan makna. Syaikh Nuruddin menyinggung oenafsiran ayat-ayat berbunyi “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, bahwa manusia keluar dari Allah dan akan bersatu kembali dengan-Nya. Syaikh Nuruddin menolak penafsiran QS Qaf (50): 16 yang dilakukan oleh kaum wujudiyah dengan mengutip kembali perkataan para ahli tafsir dan sufi. Syaikh Nurruddin juga menolak arti muhith (meliputi) yang diberikan oleh kaum wujudiyah dalam menafsirkan QS An-Nisa (4) ayat 126 seperti yang telah diungkapkan di atas dan dipandangnya sebagai tafsiran yang sesat dan salah.
Nuruddin ar-Raniri juga menolak ungkapan-ungkapan syathahat. Nuruddin menjelaskan bahwa ungkapan syathahat keluardari mulut para wali karena meraka tidak henti-hentinya berdzikir kepada Allah. Dari keterangan itu terlihat bahwa Nuruddin tidak menarima ucapan-ucapan syathahat yang dilontarkan oleh ulama sufi dalam keadaan sadar karena para walipun segera memohon ampun kepada Allah ketika sadar dari kekanakannya setelah mengcapkan ungkapan syathahat.
Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar keseluruh nusantara sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan islam diwilayah melayu indoneia tidak dapat di abaikan. Kehadiran Nuruddin ar-raniri harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran wujudiyahnya Syamsuddin Al-Sumatrani. Pemikiran Nuruddin ar-Raniri baik yang ditunjukkan pada tokoh dan penganut wujudiyah maupun pemikirannya.
Meskipun pemikiran tasawuf ar-Raniri terkesan sangat luas, tetapi sesungguhnya pemikirannya dapat di klasifikaskan sebagai berikut.
-          Tentang Tuhan
-          Tentang Alam
-          Tentang Manusia
-          Tentang Wujudiyah
-          Tentang Hubungan Syari’at dan hakikat.
4.      Abd. Rauf Al-sinkil
Syaikh Abd. Rauf ar-Raniri tetap menolak paham wujudiyah yang menganggap adanya ada penyatuan antara Tuhan dan Hambanya. Ajran inilah yang kemudian dibawa oleh muridnya, Syaikh Abd, Muhyi Pamijahan ke jawa. Ketika di Arabiah, syaihk Abd, Rauf memperoleh pendidikan kesufian dari dua orang guru terkemuka.setelah kita mengetahui biografi abd. Rauf Al-Sinkli dan karya-karyanya, selanjutnya kita akan mengetahui pemikiran tasawufnya. Pemikiran tasawuf Al-Sinkli dapat dilihat antara lain pada persoalan untuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syari’at. Al-Sinkli juga mempunyai pemmikiran tentang dzikir. Dalam pandangannya Dzikir merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa.
Ajaran tasawuf Al-sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Syaikh Abd, Rauf Al-sinkli, dalam segi lain dapat dipandang sebagai penganjur Tarekat syatariat yang menilai banyak murid dinusantara. Menurut penelitian Azyumardi Azra, Syaikh Abd Rauf pernah mengadu pada gurunya Al-Kurani, tentang terjadinya kekacauan dalam pemahaman dan praktikkaum Muslimin di tanah jawa akibat kesalah pahaman mereka dalam memahami hubungan yang proporsional antara tasawuf.
Pemahaman Abd Rauf terhadap konsep martabat tujuhterletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya daripada aspek imanensi yang menurut, sebagai paham kaum wujudiyah.
5.      Abd. Shamad Al-Palimbani
Dikatakan memiliki ketidakjesalan dalam corak pemikiran tasawufnya, apakah falsafi atau sunni. Al-Palimbani secara tegas memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai aliran dan paham yang menyimpang dari islam, seperti kebiasaan menyanggar (memberi sesajen).
Dapat dipahami bahwa corak tasawuf di Palimbani adalah mengabungkan unsur-unsur ajaran al-Ghazali dan Ibn Arabi, yang diolah dan disajikan dalam suatu sistem ajaran tasawuf tersendiri. Ia menganut paham Ibn Arabi yang memandang manusia secara potensial sebagai manifestasi Allah yang paling sempurna.meski ditafsirkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan pengertian phantheistik, yang menganggap bahwa Allah itu adalah alam semesta secara keseluruhan, dan alam semesta ssecara keseluruhan.
6.      Syaikh Yusuf Al-Makassari
Syaikh yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolk dari asumsi dasar bahwa ajaranislam meliputi dua aspek, yaitu: aspek lahir (syar’at) dan aspek batin (hakikat). Syari’at dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syaikh yusuf menggaris bawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatiuan wujud antara manusia dengan Tuhan.[4]

C.    Penyimpangan Tasawuf
Beberapa temuan penyimpangan berhasil diidentifikasi oleh Sayyed Kouhsari di antaranya;
1.      Mistisisme tanpa Tuhan
Aliran ini mengindentifikasi sebagai Mistisisme akan tetapi tidak mempunyai keyakinan terhadap Tuhan. Termasuk kategori ini adalah Mistisisme yang meyakini Tuhan tetapi dalam prespektif yang salah. Mistisime ini telah kehilangan iman pada Allah, artinya kehilangan fondasi pokok agama sehingga masuk daftar mistisisme yang menyimpang.
2.      Mistisisme Natural
Mistisisme ini menganggap alam telah menggantikan Tuhan. Kelompok ini berkembang di Barat yang terkadang membawa pengaruh ke dalam syair, film dan novel. Kelompok ini biasanya memuja dan memuji alam. Alam adalah tujuan final pencarian mereka.
3.      Mistisisme Panteisme
Mistisme ini menganggap alam=Tuhan dan Tuhan=alam. Meski secara lahiriah alam itu bukan Tuhan tetapi jika menempuh jalan spiritual, maka mereka mengklaim alam itu adalah Tuhan sendiri. Dalam tradisi filsafat Barat, pencetusnya adalah Spinoza, yang tekenal dengan aliran monisme. Sebagian kalangan menganggap panteisme sama dengan wahdatul wujud.
4.      Mistisisme non-Tauhid
Mistisisme ini meniscayakan Tuhan yang banyak, karena secara teologis menisbahkan sifat-sifat Tuhan yang banyak kepada zat-Nya. Fenomena ini juga terdapat dalam doktrin trinitas Kristen. Termasuk juga dalam kalangan Islam terjadi jika, pelaku suluk mendewakan peran seorang mursyid yang wajib ditaati. Posisi "Qutb" diletakan di atas syariat. Juga termasuk sufi yang hanya fokus pada Tuhan dan mengabaikan peran Rasulullah Saw dan para wali.
5.      Mistisisme tanpa Agama
Fenomena ini ada jika seorang sufi mengabaikan peran wahyu, Al-Quran dan sunnah. Mereka mengingkari kenabian dan mengandalkan akal sebagi alat untuk memilah masalah yang maslahat dan yang mafsadat. Termasuk paham deisme di Barat yang menganggap Tuhan berhenti bertugas setelah menciptakan alam semesta. Nasib alam kemudian bergantung pada hukum alam.
6.      Mistisme tanpa Akal
Kelompok ini menganggap akal tidak sejalan dengan mistisisme. Mistisisme yang benar adalah akal dapat menjustifikasi kebenaran Mistisisme. Akal bernilai dan penting, karena tanpa akal tidak tercapai sebuah pengetahuan.
7.      Mistisisme tanpa Kehidupan Sosial
Kelompok ini biasanya mengisolasi hidupnya dari masyarakat sosial. Pengikut aliran ini menganggap puncak pencapaian spiritual akhir ketika mereka hanya bersama Tuhan minus masyarakat.
8.      Mistisisme tanpa Ahlak
Kelompok ini menganggap diri mereka dan Tuhan saja yang ada. Mereka mendahulukan hubungan vertikal dengan menghancurkan hubungan horizontal. Sufi jenis ini hanya ingin menyempurnakan kualitas hubungan dengan Tuhan saja dan absen menyempurnakan ahlak terhadap sesama.[5]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa tasawuf memasuki Indonesia tidak sejak awal mula masuknya Islam ke Indonesia (abad ke-1 H), tetapi datangnya kemudian. Tentu paling cepat pada awal abad ke-2 H dan yang jelas pada abad ke-8 atau abad ke-14 H paham tasawuf ini sudah mendapat pasaran di Indonesia.
Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Kenyataan lainnya, kita bisa melihat pengaruh yang sangat besar dari para sufi ini dalam mempengaruhi kepemimpinan raja, baik yang ada di tanah Aceh maupun yang ada di tanah Jawa.
Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia antara lain Hamzah Al-Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abd. Rauf Al-Sinkli, Abd. Shamad Al-Palimbani, dan Syaikh Yusuf Al-Makasari.



DAFTAR PUSTAKA

Bangun Nasution, Ahmad dan Hanum Siregar, Royani. 2013. Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.
http://indonesian.irib.ir/ufuk/-/asset_publisher/mIP4/content/tasawuf-yang-menyimpang.


[1] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 63-65.
[2] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 337.
[3] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Op. Cit., hlm. 61.
[4] Ibid., hlm. 65-68.
[5]http://indonesian.irib.ir/ufuk/-/asset_publisher/mIP4/content/tasawuf-yang-menyimpang 18 Mei 2014